Di balik penghargaan “Best Social Business Innovation” dan jargon “pertambangan bertanggung jawab”, terkuak sebuah kenyataan tragis yang jauh dari narasi indah yang dibentangkan Harita Group kepada publik. Bagi publik yang kritis, penghargaan tersebut memang tak layak diapresiasi.
Ketidaklayakan ini beralasan karena kenyataannya memang kontras. Pertama, bagaimana dampak operasional Harita Group selama ini. Kedua, upaya sistematis yang melibatkan LSM, media, dan institusi akademik tertentu untuk mengangkat citra perusahaan.
Ambil contoh misalnya, yang paling dibanggakan adalah program Corporate Social Responsibility (CSR) berupa air bersih dan listrik gratis yang gencar dipublikasikan. Padahal realitanya, hal itu bukanlah bentuk kedermawanan, melainkan strategi untuk membungkam dan mengontrol.
Warga Kawasi, Pulau Obi, yang awalnya memiliki sumber air dari alam, kini sedang bergantung sepenuhnya pada “belas kasihan” perusahaan. Upaya ini berfungsi sebagai pengalihan isu yang cerdik, mengubah narasi perampasan hak menjadi cerita kedermawanan korporat.
“Sediakan Air Bersih, Sinyal dan Listrik Gratis, Harita Group Diapresiasi.” Demikian bunyi satu headline yang diduga “berafiliasi” dengan perusahaan. Namun, investigasi lapangan dari berbagai organisasi independen mengungkap kebenaran yang lebih suram, seperti yang dilaporkan oleh warga: “Makin Susah Air dan Listrik” justru setelah kehadiran tambang.
Sumber air tanah warga tercemar atau mengering akibat aktivitas eksploitasi besar-besaran, dan perusahaan kemudian hadir sebagai “penyelamat” dengan menyediakan air dalam jumlah terbatas. Simpelnya begini: mereka meracuni sumur, lalu menawarkan segelas air sebagai solusi.
Listrik gratis pun demikian, ibarat seorang penjajah yang memberikan kaca-kaca kecil kepada penduduk pribumi setelah merampas emas mereka. Persis, Harita memberikan listrik setelah merampas kebun, laut, dan mata pencaharian warga.
Listrik itu menjadi pengikat ketergantungan, sebuah pengingat akan kehidupan mereka kini ada di genggaman perusahaan. Program CSR yang seharusnya memberdayakan, dalam praktiknya justru melucuti kemandirian dan melumpuhkan resistensi dengan menjadikan warga sebagai pengemis di atas tanahnya sendiri.
Kemudian, fakta yang sama juga menunjukkan sisi lain, bahwa klaim perusahaan tentang standar kualitas air adalah sebuah lelucon tragis di tengah laporan nyata tentang “80 Pohon Kelapa Mati, bahkan Ratusan Terancam (2025)” akibat bendungan yang dibangun Harita Group.
