Dalam pertarungan narasi ini, suara warga yang miskin sumber daya kalah bersaing dengan mesin public relations perusahaan yang kaya raya. Media, yang seharusnya menjadi penjaga demokrasi, justru menjadi pengeras suara bagi yang berkuasa.

Oleh karena itu,apa yang dilakukan dan jaringan pendukungnya bukanlah bisnis biasa. Ini adalah sebuah bentuk kapitalisme bencana yang canggih. Mereka tidak hanya mengekstrak nikel dari perut bumi pulau Obi, tetapi juga mengekstrak legitimasi dari , institusi pendidikan, dan media.

Mereka membangun sebuah oligarki yang hampir mustahil ditembus oleh suara-suara korban. Setiap pemberitaan negatif tentang protes warga akan segera dibalas dengan serangkaian berita tentang penghargaan, komitmen sustainability, dan pengakuan dari pihak ketiga yang telah “dibeli” atau dibutakan oleh data palsu.

Pada akhirnya, pertanyaan terbesar bukan hanya untuk , tetapi untuk kita semua sebagai masyarakat: Berapa harga sebuah piagam penghargaan? Ternyata, harganya adalah 80 pohon kelapa warga, sumber air sebuah komunitas, nyawa seorang pekerja, dan air mata warga yang terusir dari tanah leluhurnya.

Dan para intelektual serta jurnalis yang mendukungnya ternyata hanya menjadi tukang stempel yang membuat semua pengorbanan itu tampak “legal”, “beradab”, dan bahkan “terpuji”. Mereka bukan lagi pihak netral; mereka adalah aktor yang memegang kuas untuk mengecat tembok penjara ketidakadilan dengan warna-warna keberlanjutan.

***