Pertanyaan kritis yang harus diajukan adalah, metodologi seperti apa yang digunakan dalam penelitian mereka? Apakah sebuah studi tentang “pertambangan bertanggung jawab” dapat dianggap valid jika mengabaikan suara-suara penentang yang terdokumentasi dengan baik seperti laporan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) atau aksi boikot warga kawasan tambang?
Ataukah penelitian mereka dibiayai langsung dan karenanya disesuaikan dengan kepentingan perusahaan? Sungguh, ini adalah sebuah konfirmasi bias akademis yang halus, di mana data yang tidak sesuai dengan narasi “keberlanjutan” perusahaan akan disingkirkan.
Ini jelas bentuk kekejian. Dengan memberikan stempel “ilmiah”, para intelektual kampus telah mencabut nyawa dari perjuangan warga. Mereka menjadi tukang stempel yang menjual kredibilitas institusi untuk menghiasi narasi perusahaan.
Tindakan mereka bukan hanya tidak kritis, tetapi juga memperkuat timpangnya kekuasaan, di mana warga dengan pengalaman langsung harus berhadapan dengan “pakar” yang datang dengan teori-teori yang dibayar oleh pihak yang mereka kritik. Tega!
Beberapa media besar, termasuk kantor berita nasional terkemuka, memberitakan pendapatan Harita yang mencapai Rp 224 Triliun dengan nada kagum dan heroik, seolah-olah angka itu adalah satu-satunya indikator kesuksesan dan kontribusi bagi bangsa.
Mereka dengan patuh menyalin rilis pers perusahaan tentang pemenuhan standar kualitas air, sambil abai untuk melakukan investigasi independen terhadap ratusan keluhan warga yang justru kehilangan akses air bersih.
Media-media pro-perusahaan ini telah berubah fungsi dari pemberita menjadi mesin pencuci citra (whitewash machinery). Mereka dengan gencar mengangkat berita tentang komitmen audit dari The Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA), sebuah proses yang masih panjang dan belum terbukti, seolah-olah masalah sudah selesai.
Dari sinilah, mereka menciptakan ilusi bahwa perusahaan sedang “berbenah”, sambil secara sistematis mengabaikan fakta bahwa kerusakan terjadi saat ini juga dan korban terus berjatuhan.
Inilah bahayanya ketika media mendua. Di satu sisi, mungkin memberitakan aksi protes warga sebagai bagian dari “kewajiban” pelipuran konflik. Namun di sisi lain, pemberitaan tersebut telah dibanjiri dan dilindas oleh serangkaian rilis tentang penghargaan, komitmen sustainability, dan laporan laba yang fantastis.
