Mimbartimur.com – Demonstrasi di depan Gedung DPR RI pada 28 Agustus 2025 meninggalkan luka mendalam dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Tragedi dua pengemudi ojek online menjadi korban tabrak-lindas kendaraan taktis Brimob di kawasan Pejompongan, Jakarta.
Affan Kurniawan (21) tewas seketika, sementara rekannya, Umar, mengalami luka serius dalam tragedi tersebut. Rekaman video yang tersebar luas menunjukkan bagaimana kendaraan baja melaju tanpa berhenti, meskipun massa telah berteriak bahwa ada orang di bawah ban.
Demonstrasi yang menjadi Tragedi ini seakan menampar kesadaran kita bersama, aparat yang seharusnya melindungi rakyat justru berubah menjadi ancaman nyata. Antara Tugas Polri dan Realitas Lapangan.
Polri dibentuk dengan mandat konstitusional untuk melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat sebagaimana diatur dalam UU No. 2 Tahun 2002. Namun, tragedi Pejompongan memperlihatkan wajah sebaliknya. Seorang pekerja muda, tulang punggung keluarga, justru kehilangan nyawa akibat tindakan aparat.
Max Weber (1919) pernah menegaskan bahwa negara memiliki monopoli kekerasan yang sah. Tetapi sah tidak berarti bebas tanpa batas. Kekerasan hanya mendapat legitimasi bila digunakan untuk melindungi warga negara.
Jika kekerasan justru diarahkan pada rakyat yang sedang mengekspresikan aspirasi, legitimasi itu runtuh. Anggaran. Ironi semakin jelas bila kita menengok fakta anggaran.
Setiap tahun, triliunan rupiah APBN digelontorkan untuk pengadaan kendaraan taktis, senjata, dan pasukan anti-huru-hara. Semuanya berasal dari pajak rakyat. Dengan demikian, kendaraan baja yang menewaskan Affan sesungguhnya dibeli dengan uang rakyat.
Peralatan yang seharusnya menjaga keselamatan publik, justru menjadi mesin yang merenggut nyawa rakyat kecil. Inilah wajah paling tragis dari birokrasi keamanan yang kehilangan orientasi.
Konsep human security yang dikemukakan Paris (2001) menegaskan bahwa keamanan sejati bukan sekadar menjaga stabilitas negara, melainkan memastikan keselamatan individu.