Kenyataan ini bukanlah sekadar insiden biasa, melainkan gejala dari sebuah kematian ekologi yang lebih luas yang dipicu oleh rekayasa landscape untuk kepentingan industri. Kita semua tentu paham akan hal itu, bukan?
Sementara itu perusahaan mungkin dengan bangga menunjukkan laporan laboratorium yang menyatakan mereka “memenuhi standar kualitas air tanah di kawasan industri“. Namun, patut diduga standar ini adalah sebuah desain untuk mengelabui keresahan warga.
Bagaimana tidak, standar yang dirancang untuk kawasan industri dengan toleransi polutan tertentu, diterapkan pada lahan pertanian dan kehidupan masyarakat. Yang mereka ukur adalah apakah air tersebut cukup “aman” untuk dibuang ke lingkungan industri, bukan apakah air tersebut cukup sehat untuk diminum, dan menopang ekosistem lokal.
Ini adalah bentuk proses pemiskinan yang sistematis dan terencana: hancurkan basis ekonomi tradisional warga, lalu sediakan lowongan kerja sebagai buruh tambang dengan upah minimum. Inilah kedaulatan pangan berganti menjadi ketergantungan upah.
Hal lain yang tidak kalah tragis adalah, ketika seorang karyawan tewas terlindas alat berat, narasi “perusahaan peduli” dan “standar operasional tinggi” yang selama ini dibangun, runtuh dalam sekejap.
Insiden ini bukanlah kecelakaan tunggal yang baru terjadi, melainkan cerminan dari budaya keselamatan yang longgar dan sistem yang memprioritaskan target produksi di atas nyawa manusia. Tuntutan dari Disnakertrans Halsel (2025) agar perusahaan bertanggung jawab penuh adalah pengakuan resmi bahwa telah terjadi kelalaian yang fatal.
Karena itu, klaim perusahaan tentang kesejahteraan karyawan adalah bentuk kepalsuan, sebab ketika alat-alat berat yang seharusnya menjadi sarana produksi, justru berubah menjadi alat pembunuh. Apakah pelatihan keselamatan yang memadai diabaikan untuk menghemat waktu? Apakah pemeliharaan alat dilakukan asal-asalan untuk memangkas biaya?
Sayangnya, pertanyaan-pertanyaan di atas telah hilang dalam drama pencitraan. Perusahaan mengajak LSM, media, bahkan institusi akademik seperti Universitas Indonesia dan Universitas Khairun agar turut berperan.
Ketika mereka mengeluarkan pernyataan yang “mengakui model pertambangan bertanggung jawab” yang diterapkan Harita, yang mereka lakukan adalah sebuah pengkhianatan intelektual terhadap mandat mencerdaskan kehidupan bangsa.
