Mimbartimur.com – Tekanan global terhadap kian menguat dan bergerak dari kritik lingkungan menuju tudingan serius yang mengarah pada dugaan kejahatan korporasi terstruktur. Operasi industri nikel berskala besar di , Maluku Utara, kini dipersoalkan bukan hanya karena dampak ekologis, tetapi juga dugaan pelanggaran hak asasi manusia, tata kelola pemerintahan yang buruk, serta ancaman terhadap kedaulatan ekonomi masyarakat lokal.

Koordinator Perkumpulan , , menilai kondisi di telah menunjukkan ciri kehancuran ekologis yang disengaja. Ia menyebut perubahan lanskap pulau secara drastis, pencemaran sumber air, hingga meningkatnya konflik sosial sebagai dampak langsung dari model bisnis ekstraktif yang dinilai mengabaikan hukum dan hak-hak warga.

dulunya ruang hidup, sekarang berubah menjadi zona korban. Air tercemar, tanah dirampas, dan masyarakat menanggung dampak dari keuntungan yang tidak pernah mereka nikmati,” ujar Yohanes kepada Mimbartimur.com, Sabtu (20/12).

Menurut Yohanes, proses penguasaan lahan dan ekspansi tambang diduga dilakukan tanpa menghormati prinsip free, prior and informed consent (FPIC) atau persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan. Ia menegaskan, praktik tersebut merupakan pelanggaran serius dalam kerangka hukum internasional dan tidak bisa lagi ditutupi dengan narasi pembangunan maupun hilirisasi.

“Jika sebuah korporasi terus beroperasi dengan mengetahui dampak destruktifnya terhadap lingkungan dan manusia, itu bukan kelalaian, melainkan pembiaran yang patut diduga sebagai kejahatan korporasi,” tegasnya.

Sementara, Direktur Indonesia Anti-Corruption Network (), , menyebut sebagai bagian dari persoalan struktural dalam industri nikel nasional. Ia menilai sektor tersebut sarat dengan perizinan bermasalah, konflik kepentingan, serta dugaan aliran dana yang tidak transparan.

“Industri nikel kita tidak dibangun di atas supremasi hukum, melainkan kompromi dan pembiaran. Kasus korupsi mantan Gubernur Maluku Utara yang telah diputus pengadilan menjadi bukti adanya masalah serius, dan merupakan salah satu aktor dominan dalam sistem ini,” kata Igrissa.

-- --

Ia merujuk pada berbagai laporan investigatif lembaga antikorupsi yang mengungkap penerbitan izin tambang dan smelter tanpa kepatuhan penuh terhadap aturan lingkungan maupun fiskal. Dampaknya, menurut Igrissa, tidak hanya kerusakan ekologis, tetapi juga potensi kerugian keuangan negara.

“Ketika pajak tidak optimal, izin bermasalah dibiarkan, dan pemulihan lingkungan diabaikan, maka ada potensi kerugian negara yang nyata. Ini sudah masuk wilayah hukum pidana, bukan sekadar kritik kebijakan,” ujarnya.