Tidak ada peraturan yang begitu jelas untuk membatasi, sampai generasi keberapa, gelar “Raden” berakhir. Satu-satunya ketentutuan hanyalah, sampai ke generasi keempat, seseorang masih berhak menaruh gelar “Raden Mas”.
Sedang keturunan selanjutnya, tanpa batas, berhak dengan gelar “Raden”. Ketentuan tersebut khusus berlaku dalam keraton Yogya. Karena untuk keraton Surakarta, sampai generasi kelima, masih berhak gelar ,,Raden Mas”.
Dan baru generasi selanjutnya, hanya bergelar “Raden”, juga tanpa pembatasan kapan berakhir. Tempo dulu, gelar yang dimiliki seseorang, akan mempengaruhi tata cara peradilan, seandainya mereka melakukan pelanggaran hukum.
Seorang dengan gelar “Raden Mas”, di karaton Yogya berarti keturunan keempat (paling jauh) dari Sultan. Jika melakukan pelanggaran hukum, peradilannya diselenggarakan oleh “Pengadilan Darah Dalem”, khusus bagi kerabat dekat Raja.
Dan nanti, jika terbukti bersalah misalnya, tempat hukuman berbeda dengan orang pada umumnya. Meskipun sama saja hidup dalam penjara, tempatnya diatur berbeda dan jelas memiliki fasilitas lebih sempurna.
Sayang sekali, untuk mereka yang hanya memiliki gelar “Raden” tanpa “Mas”, berarti keturunan kelima dan seterusmya dari seorang Raja, tidak ada perlakuan khusus.
Untuk golongan bangsawan terendah ini, peradilannya dilakukukan oleh Pengadilan Umum. Begitu juga jika masuk penjara, akan dicampur baurkan dengan rakyat biasa, atau rakyat awam yang tidak mempunyai pertalian darah bangsawan.
Setiap orang, berkesempatan seperti yang telah diterangkan dimuka, para calon bangsawan hanya diwajibkan menyerahlkan daftar keturunan dan mengucapkan sumpah kebenaran.
Maka secara teoritis, setiap orang bisa saja mendapat gelar “Raden”, jika mereka berani bersumpah, daftar ketutrunan yang mereka ajukan adalah benar!
Tidak mungkin orang lain meneliti, kebenaran yang diajukan. Mungkin ada yang mengira, seorang Raja Jawa hanya memiliki beberapa orang keturunan.
Dugaan tersebut nampaknya meleset. Karena beberapa Raja zaman dulu, memiliki begitu banyaknya isteri, sehingga menurunkan begitu banyaknya putera dan puteri.
Dan kemudian diakhimya nanti, mereka akan beranak pinak lebih banyak lagi hingga tak terhingga. Sebagai contoh, Paku Buwono ke IV dari keraton Surakarta mempunyai 25 isteri yang membuahkan 56 putera.
Sedangkan Sultan Hamengku Buwono ke II dari Yogya, tercatat mempunyai isteri 33 orang yang akhirnya menghasilkan keturunan sebanyak 80 orang.
Ini masih dua contoh saja. Dengan demikian jelas, pemilik gelar “Raden” pasti sudah puluhan ribu orang. Karena selama lima tahun terakhir ini saja, kantor Sri Wandawa keraton Yogya sampai bulan Agustus 1974, sudah mengesahkan pemakaian “Raden” sebanyak 6.768 orang. Datang dari setiap penjuru Indonesia, dari berbagai macam suku bangsa.
Sebab dari beberapa orang keturunan Raja tersebut, ada juga yang mengambil isteri bukan dari Jawa. Sehingga bagaimanapun juga, keturunannya tetap masih berhak akan gelar “Raden”.
Putera langsung seorang Raja Jawa, semasa kecil mempunyai gelar BRM (Bendoro Raden Mas). Jika puteri, gelarnya BRA (Bendoro Raden Ajeng)). Kalau mereka menikah, yang putera diganti gelarnya menjadi GPH (Gusti Pangeran Haryo).
Tetapi putera yang bukan dari Permaisuri, bergelar BPH (Bendoro Pangeran Haryo). Untuk puteri tidak ada perubahan, kecuali singkatan A tdiak lagi “Ajeng”, melainkan “Ayu”. Hanya seorang diantara para Pangeran akhirnya menduduki tahta kerajaan.
Tetapi jelas dari puluhan Pangeran yang ada, kebanyakan pasti mempunyai keturunan. Keturunan lelaki bergelar “Raden Mas”, yang perempuam “Raden Ajeng”, setelah kawin menjadi “Raden Ayu”.
Seorang “Raden Mas” masih bisa menurunkan lagi “Raden Mas” baru. Tetapi keturunannya selanjutnya hanyalah “Raden” biasa. Jika keturunannya perempuan, gelarnya “Raden Roro”, setelah kawin, “Raden Nganten”.
Tetapi seseorang mungkin juga menjadi seorang Raden dan sekaligus Pangeran, meskipun mereka bukan merupakan keturunan langsung dari seorang Raja.
Hal ini bisa dicapai oleh para pegawai keraton yang mempunyai nasib baik serta catatan kerja terpuji. Tingkat kepegawaian terendah adalah “Jajar”. Jika tugasnya baik, jenjang kepangkatannya meninggi menjadi seorang “Bekel”.
Demikikian terus-menerus naik menjadi “Lurah”, “Wedana” dan akhirnya “Riyo”. Seandainya pegawai termaksud masih terus dinaungi nasib baik, Raja bisa mengangkatnya menjadi Bupati dengan gelar “KRT” (Kanjeng Raden Tumenggung).
Seorang KRT masih mungkin naik sekali lagi kearah jenjang tertinggi dalam kepangkatan keraton, kali ini gelamya “KPH” (Kanjeng Pangeran Haryo).
Meskipun demikian, karena mereka memang bukan keturunan langsung Raja, keturunan para pegawai tersebut tidak secara otomatis mewanisi gelar yang diperoleh ayah mereka dari anugerah keraton.
Hanya pengabdian perseorangan kepada Raja yang sedang bertahta, sanggup mengangkat derajat si orang yang bersangikutan. Nama berbau “asing”, tanpa gelar.
Ketika dua tahun yang silam Sri Susuhunan Paku Buwano ke XII dari keraton Solo mengangkat pedagang barang antik Go Tik Swan menjadi KRT Harjonegoro, banyak orang agak terperanjat.
Sebenarnya, peristiwa semacam itu, sudah sering terjadi pada masa lalu. maksudnya, seorang Raja Jawa mengangkat bukan dari keturunan Jawa menjadi bangsawan tinggi dalam keratonnya.
Beberapa nama, misalnya dari golongan keturunan Tiong Hoa, pernah muncul dalam sejarah. Yang mungkin karena pengabdiannya, ia kemudian diangkat oleh Raja yang kebetulan sedang berkuasa menjadi bangsawan tinggi.
Agak menarik adalah tokoh KRT Sutodiningrat, dalam lingkungan keraton Yogya. la memang anak Jawa asli. Ketika ayahnya meninggal, ibunya kawin lagi dengan seorang Tiong Hoa.
Kebetulan keluarganya mempunyai pertalian darah dengan Sultan Mangku Rat Agung, disamping kecakapannya pribadi sehingga bisa menduduki jabatan kepala masyarakat Tiong Hoa.
Anak lelakinya, yang mewarisi jabatan sang ayah, mengambil nama sama, yakni KRT Sutodiningrat ke II. Sutodiningrat Junior, beristerikan delapan orang, sebagian keturunan Tiong Hoa sisanya puteri Jawa.
Tentu saja, keturunannya yang amat banyak, akhirnya menghasilkan keluarga aneka rupa sampai hari ini. Dari berbagai orang yang mengajukan permohonan gelar kebangsawanan ke kantor Dwarapura Yogya, beberapa nama jelas bukan nama Jawa asli.
Pengalaman selama ini menunjukkan, permohonan gelar tersebut blasanya dapat diluluskan. Karena sebelumnya, para calon pasti sudah mempersiapkan serapi mungkin daftar silsilah keluarganya.
Sehingga tidak ada alasan lagi, untuk menolak permohonan yang diajukan. Sebuah ketentuan yang diadakan, jika nama asli pemohon masih berbau “asing”, hanya daftar pengesahan keturunan diberikan.
Tentang gelar “Raden”, tidak ikut diberikan. Namun seandainya pemohon sukarela mau mengubah namanya menjadi nama Jawa, langsung “Raden” bisa dituliskan dimuka nama tersebut.
Bagaimanapun juga, ketentuan di atas berlaku secara luwes. Untuk nama calon bangsawan yang berasal dari bahasa Arab, gelar “Raden” tetap diberikan.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.