Sementara ancaman hukuman menurut LBH Marimoi, dalam Pasal 44 ayat (1) Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) secara jelas hukuman maksimum lima tahun penjara atau denda hingga Rp 15 Juta.
“Artinya ini bukan tindak pidana ringan. Terlpas dari itu, Wulandari juga dilapor balik dengan tuudhan yang sama, locus dan tempus delicti nya sama dengan nomor laporan Lp/271/IX/2024/SPKT/Polres Halut tertanggal 22 September 2024. Atas dasar laporan tersebut, Wulandari yang sebelumnya korban, kini menjadi tersangka”, imbuhnya.
Tak hanya sampai disitu, Wulandari juga terseret dengan laporan kedua dengan tuduhan pengrusakan dengan nomor laporan Lp/B/2021/VI/2025/SPKT/Polres Halut tertanggal 5 Juni 2025 yang saat ini memasuki tahap penyidikan. “Betapa buruknya penegakan hukum di Maluku Utara. Kriminalisasi korban terjadi ketika aparat keliru mendepak korban sebagai tersangka atau terdakwa”, tutupnya.
Sementara Ketua LBH Ansor Ternate, Zulfikran Bailussy menyampaikan penegakan hukum yang adil perlu melibatkan publik sebagai bagian dari fungsi kontrol demi mencapai keadilan bagi korban, terutama bagi perempuan-perempuan dalam menghadapi persoalan hukum kerap dikriminalisasi.
“Ini menjadi tanggungjawab semua pihak, terutama netizen yang punya power dalam menentukan arah bagi korban untuk menelusuri jalan keadilan. Jangan sampai penegakan hukum di Maluku Utara ini terkesan hanya prosedur semata tapi kita harus benar-benar mengambil peran aktif mengawal setiap perkara”, singkatnya.
***