Mimbartimur.com – Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Banyuwangi menggelar kegiatan doa dan sholawat Asgil bersama di Mushola Insan Cita pada Minggu, 17 Agustus 2025. Acara ini bertepatan dengan peringatan HUT ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia.

HMI Cabang Banyuwangi menjadikan hal ini sebagai momentum untuk menyuarakan sebuah mungkapan kritik terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi, Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).

Dalam peraturan daerah yang telah disahkan ini, terdapat beberapa ketentuan yang menuai perhatian masyarakat, salah satunya adalah perubahan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) dari sistem berbagai tarif menjadi satu tarif dengan besaran 0,3%. Kebijakan ini dinilai tidak lagi mempertimbangkan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat yang beragam.

Selain itu, perubahan ini juga mengatur pajak untuk berbagai sektor seperti makanan, minuman, jasa perhotelan, parkir, kesenian, hiburan, restoran, dan jasa katering. Meski ada pengecualian bagi usaha dengan pendapatan bulanan di bawah Rp5 juta, aturan ini tetap dianggap bisa memberatkan pelaku usaha kecil.

Ketua Umum HMI Cabang Banyuwangi, Ilham Layli Mursidi, mengungkapkan bahwa kebijakan ini adalah sebuah ironi yang terjadi di tengah peringatan kemerdekaan. “Dulu, pada 17 Agustus 1945, bangsa ini berjuang melawan penjajahan. Kini, di 17 Agustus 2025, masyarakat merasa kembali dijajah oleh kebijakan pemerintah daerah melalui pajak yang menambah beban,” ujarnya.

Ilham menilai penerapan tarif tunggal PBB-P2 melanggar asas keadilan.“Orang kecil yang memiliki rumah sederhana harus membayar pajak dengan persentase yang sama seperti pemilik aset besar. Ini jelas bentuk ketidakadilan fiskal yang tidak boleh dibiarkan,” ungkapnya.

Selain itu, keresahan juga datang dari masyarakat Banyuwangi, terutama pelaku UMKM dan pedagang kecil. Siti Aminah (42), pemilik warung makan di Kecamatan Kabat, mengaku khawatir dengan aturan baru. “Warung kecil seperti saya sudah berat dengan harga bahan pokok yang terus naik. Jika ditambah pajak, jelas memberatkan. Apalagi restoran dan katering dianggap sebagai objek pajak. Bagaimana kami bisa bertahan?” keluhnya.

-- --

Senada, seorang pengusaha katering rumahan, Ahmad Fauzi (35), mengatakan aturan ini bisa membuat usahanya mati. “Usaha kami hanya mengandalkan pesanan hajatan. Jika harus membayar pajak sama dengan restoran besar, tidak adil. Pemerintah seharusnya lebih membela rakyat kecil,” ujarnya.

HMI Banyuwangi mendesak Pemerintah Daerah Kabupaten Banuwangi untuk meninjau ulang Perda (PDRD) ini karena dinilai lebih mengutamakan kepentingan pemerintah daerah dibanding keberpihakan kepada rakyat. Kebijakan ini berpotensi menyebabkan keresahan sosial dan memperlebar ketimpangan ekonomi di Banyuwangi.