Mimbartimur.com, –  Memasuki abad ke-20, kebijakan pemerintah belanda mendorong untuk menguasai seluruh wilayah Nusantara. Kebijakan itu diikuti dengan penaklukan terhadap wilayah-wilayah yang belum dikuasai, jika perlu dengan pendekatan militer.

Daerah-daerah kolonial yang masih terpisah disatukan dalam penerapan administrasi baru yang berpusat di Batavia, yang disebut Pax Neerlandica. Pemerintah kolonial pun melakukan perjanjian-perjanjian. Selanjutnya sistem administrasi tradisional berubah ke sistem administrasi modern.

Suatu sistem yang mana pemerintah mengambil alih sistem pemimpin pribumi ke sistem birokrasi kolonial. Kebijakan ini ditetapkan untuk mengambil posisi penting dari pemimpin daerah ke tangan Belanda.

Sistem itu memisahkan pemimpin pribumi dari akar hubungan tradisional dengan rakyatknya, mereka kemudian dijadikan pegawai dalam birokrasi kolonial.

Serangkian tindakan penjajahan Belanda tersebut telah menimbulkan banyak perlawanan dari pihak bangsa Indonesia. Strategi perlawanan yang ditempuh waktu umumnya dengan perlawanan bersenjata.

Sayangnya perlawanan dalam menghadapi kekuatan kolonialisme dan imperalisme itu masih bersifat lingkup daerah atau wilayah tertentu.

Riau melancarkan perlawanan sendiri, Banten perang sendiri, Mataram angkat senjata sendiri, Makassar begitu, Tondano juga begitu dan begitu seterusnya perlawanan Diponegoro berdiri sendiri, Padri sendiri, Aceh sendiri. Bahan dari masing-masing daerah atau Indonesia ini bisa diadu domba.

-- --

Orang-orang Madura diadu domba dengan Mataram, Aru Palaka dari Bone diadu dengan Hasanuddin dari Makassar, pasukan Ali Basya Sentot Prawirodirjo diadu dengan pasukan Padri.

Sudah barang tentu ini sangat tidak menguntunkan dn sangat melamahkan pejuang Indonesia. Pengalaman ini menunjukan pentingnya cara-cara yang lebih terorganisasi dan didsarkan pada persatuan dan kesatuan.

Redaksi MimbarTimur
Publikasi