Kolom – Pada malam hari duduk santai di sebuah kafe sambil menikmati kopi hitam tanpa gula yg ditemani para teman-teman aktivis dan wartawan sambil bercerita tentang nasib dan masa depan daerah.
Nampak jelas kegelisahan teman-teman aktivis serta wartawan terkait nasib daerah kedepan jika dipimpin oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan hanya memikirkan kepentingan pribadi juga kelompok.
Dalam perbincangan kami tak terasa waktu sudah memasuki pukul 02:00 WIT dini hari, namun perbincangan kami semakin hangat walaupun kopi sudah dingin termakan angin malqm. Perbincangan terkait pilkada Malut menjadi tema sentral kami disebabkan sudah diketahui pasangan para calon kepala daerah yang ikut dalam kontestasi politik lokal.
Tentunya kami membahas mulai dari pilgub sampai pada pilbup dan pilwako. Mulailah dari kami masing-masing mengajukan pendapat dan analisa terhadap setiap pasangan calon kepala daerah. Dari perbincangan kami, ada yang berpendapat bahwa siapapun kepala daerah harusnya punya visi untuk kepentingan masyarakat luas, khususnya nasib masyarakat kita yang ada di pelosok desa.
Baginya, masyarakat kita mayoritas adalah petani dan nelayan, sehingga kepala daerah terpilih nantinya harus memahami secara benar dalam setiap kebijakan pembangunan daerah. Adapula yang menganalisa calon pasangan tertentu yang memiliki tanggung jawab moral terhadap kesejahteraan masyarakat dan kepedulian terhadap nasib daerah.
Menurutnya, kita harus menentukan pilihan terhadap pasangan calon kepala daerah yang punya ikatan sosial sangat kuat dengan masyarakat, karena pastinya sangat memahami permasalahan di masyarakat. Berbeda dengan pendapat lain yang lebih ekstrim, dengan mengatakan bahwa nasib daerah kita sangat tergantung pada masyarakat sebagai pemilih.
Nasib daerah kedepan terletak ditangan masyarakat sebagai pemilih yang nanti memberikan suara mereka ke pasangan calon kepala daerah. Jangan hanya dengan diberikan uang Rp 300 – 500 ribu kemudian memberikan suaranya kepada pasangan calon. Menurutnya, kita semua jangan terkecoh dengan materi dan janji-janji politik, tapi harus punya penilaian dan kriteria dala, menentukan pilihan.
Saya yang mendengar berbagai pendapat teman-teman aktivis dan wartawan dengan wajah keprihatinan dan kegelisahan terhadap nasib daerah kedepan. Cerita kami dicafe berakhir dan dilanjutkan di lain waktu, karena semua harus kembali untuk istirahat.
Keesokan hari sekitar pukul 13: WIT, saya bergegas menuju kampus Unkhair untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai seorang dosen yang selalu memberikan wejangan-wejangan kepada mahasiswa dengan harapan agar para mahasiswa bisa meraih cita-cita yang mereka impikan. Tak lama kemudian, teman-teman dosen mengajak untuk santai dikantin fakultas sambil menikmati secangkir kopi.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.