Mimbartimur.com – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mengadakan diskusi publik bertajuk ‘Amran Sulaiman Hancurkan Ekosistem Pers karena Gugat Media. Apa Dampaknya?’ pada Kamis, (06/11) sore.
Diskusi ini mengundang sejumlah pembicara penting, termasuk Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Asfinawati, Produser Sekuel “Dirty Vote” Dandhy Dwi Laksono, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia Emir Chairullah, serta Direktur LBH Pers Mustafa Layong.
Asfinawati menyoroti bahwa Menteri Pertanian Amran Sulaiman telah memanfaatkan sumber daya negara untuk kepentingan pribadi dengan menggugat Tempo terkait pemberitaan mengenai tata kelola penyerapan beras. Gugatan senilai Rp 200 miliar ini, menurutnya, merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang mengedepankan nama pribadi Amran.
“Dia mendayagunakan sumber daya negara untuk kepentingan pribadi, penyalahgunaan kekuasaan. Ketidakpuasan terhadap kritik publik dan upaya menutupi jejak kinerjanya menunjukkan perilakunya yang tidak beretika,” ujarnya pada diskusi di Sekretariat AJI Jakarta.
Lebih jauh, Asfinawati menekankan bahwa gugatan ini tidak hanya membahayakan Tempo, tetapi juga mengancam demokrasi yang berlandaskan keterbukaan informasi publik dan penegakan kebenaran. Menurutnya, ini adalah bentuk pelecehan yudisial atau judicial harassment yang bertujuan mengekang kebebasan berbicara, yang telah dilindungi oleh undang-undang.
Asfinawati menunjukkan bahwa fenomena serupa pernah menimpa aktivis seperti Fatia Maulidiyanti, Haris Azhar, dan akademisi Bambang Hero Saharjo, yang juga mengalami kriminalisasi karena pendapat mereka. Dia memberi peringatan bahwa gugatan seperti ini dapat menciptakan chilling effect, di mana masyarakat merasa takut untuk mengemukakan pendapat, terutama dalam konteks tata kelola beras.
Dandhy Dwi Laksono, di sisi lain, menilai gugatan ini sebagai bagian dari konsolidasi kekuasaan yang menuju otoritarianisme. Dia mencatat adanya gejala-gejala yang mengarah ke negara otoriter, seperti militerisme dan hilangnya oposisi di parlemen.
“Langkah Amran menggugat Tempo adalah upaya untuk menutup media. Dia ingin menunjukkan kekuasaannya, namun terlihat ragu-ragu, seolah mengulangi pola Soeharto,” kata Dandhy, menegaskan bahwa ini semakin mendekatkan kita pada fase otoritarianisme.
Direktur LBH Pers, Mustafa Layong menanggapi gugatan Amran dengan menyatakan bahwa tidak ada dasar hukum yang kuat di balik tindakan tersebut. Dia menekankan bahwa tuduhan Amran terhadap Tempo berkaitan dengan Pernyataan, Penilaian, dan Rekomendasi (PPR) yang seharusnya menjadi ranah Dewan Pers.
