Mimbartimur.com – Menjelang peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia, sekelompok kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) alumni Latihan Kader (LK) 2 HMI Cabang Banyuwangi yang berasal dari Cabang Mojokerto dan Cabang Gowa Raya Makassar menyelenggarakan sebuah diskursus tentang pendidikan di Indonesia.

Pertemuan dalam bentuk diskursus ini bukan sekadar silaturahmi kader lintas daerah, melainkan sebuah ruang intelektual untuk merenungi kembali wajah pendidikan Indonesia sebagai pilar utama kemerdekaan bangsa.

Diskursus ini dimulai dengan satu pertanyaan mendasar mengenai Apakah bangsa Indonesia benar-benar sudah merdeka dalam Pendidikan, Pertanyaan ini lahir dari kegelisahan kolektif para alumni LK 2. Dengan menyadari bahwa meskipun bangsa ini sudah 80 tahun lepas dari kolonialisme politik, namun kolonialisme pengetahuan, mentalitas, dan ketidakadilan dalam akses pendidikan masih terus menghantui.

Andrian Alfaozan dari HMI Cabang Mojokerto menyoroti bahwa pendidikan Indonesia masih jauh dari cita-cita Ki Hadjar Dewantara: mencerdaskan kehidupan bangsa dan memerdekakan manusia. Sekolah-sekolah masih cenderung menekankan penguasaan materi dan nilai ujian, sementara kemerdekaan berpikir, kreativitas, serta keberanian mengambil peran dalam masyarakat belum sepenuhnya terwujud.

Sementara itu, Tighfar dari HMI Cabang Gowa Raya Makassar mengingatkan bahwa ketimpangan pendidikan masih sangat terasa di berbagai daerah. Anak-anak di pelosok Sulawesi, Papua, hingga Nusa Tenggara masih berjuang dengan minimnya fasilitas, guru, dan akses digital.

Hal tersebut menandakan bahwa wajah pendidikan Indonesia belum sepenuhnya inklusif. Jika pendidikan adalah jalan menuju kemerdekaan sejati, maka bangsa ini baru merdeka sebagian. Dalam diskursus tersebut, lahir kesepahaman bahwa pendidikan sejatinya bukan hanya proses transfer ilmu, melainkan proses pembebasan.

Paulo Freire menyebutnya sebagai pendidikan yang memerdekakan, yakni pendidikan yang membuat manusia sadar atas realitas sosialnya dan mampu mengubah keadaan. Namun diskursus ini tidak berhenti pada kritik. Para kader alumni LK 2 juga menawarkan beberapa Solusi sebagai berikut.

Pertama, Demokratisasi Akses Pendidikan – Negara harus memastikan bahwa setiap anak, baik di kota maupun pelosok, memiliki akses pendidikan yang setara, termasuk sarana digital yang memadai. Kedua, Reorientasi Kurikulum – Kurikulum tidak boleh sekadar berorientasi pada standar ujian, tetapi harus mendorong kreativitas, daya kritis, dan kepedulian sosial peserta didik.

Ketiga, Peningkatan Kualitas Guru – Guru perlu diberdayakan sebagai agen perubahan, bukan sekadar instruktur. Pelatihan berkelanjutan dan peningkatan kesejahteraan menjadi keharusan. Keempat, Kolaborasi Masyarakat dan Negara – Pendidikan tidak bisa hanya dibebankan pada pemerintah; masyarakat, organisasi mahasiswa, dan komunitas literasi harus aktif menciptakan ruang-ruang belajar alternatif.