Ketua DIY, Wawan Arif, menyatakan bahwa kehadiran DIY adalah bentuk komitmen untuk menjembatani penulis dan pembaca dalam suasana yang lebih akrab.

“Melalui festival ini, kami ingin menjembatani antara penerbit, penulis, dan pembaca dalam suasana yang lebih hangat dan akrab. Buku tidak hanya ditulis untuk dibaca, tapi juga untuk didiskusikan dan dihidupi. Itulah mengapa hadir di sini, di tengah semangat kolaborasi komunitas ,” ujarnya.

Aditia Purnomo juga  menegaskan bahwa Festival Jogja merupakan buah dari kolaborasi dan gotong royong antar banyak pihak.

“Kami percaya, bukan hanya urusan teknis membaca dan menulis, tapi juga urusan rasa, ruang, dan relasi antarwarga. Festival ini kami desain agar menjadi ruang yang hidup dan berkelanjutan,” ujarnya.

Festival ini menegaskan bahwa bukan sekadar kemampuan individual, melainkan gerakan kultural yang harus terus diperbarui dan dikontekstualisasikan.

Diwujudkan dengan bukti bahwa Festival Jogja ini juga diramaikan dengan seminar, bincang buku, bedah karya, gelar mocopat, talkshow publik, hingga lomba dan pentas seni.

Festival ini turut mengajak masyarakat Yogyakarta untuk merayakan pengetahuan secara aktif dan inklusif. Rangkaian acara penutupan turut diisi dengan penyerahan penghargaan kepada para pemenang lomba literasi tingkat DIY.

-- --

Pentas seni literasi juga menjadi bagian penting dari gelaran ini. Program ini menghadirkan pertemuan antara kreativitas sastra dan seni pertunjukan.

Setiap malam dalam gelaran acara tersebut, para pengunjung disuguhi dengan berbagai pertunjukan menarik, seperti pentas dangdut klasik dengan menghadirkan Janema, gelaran pembacaan puisi, musikalisasi puisi, dan pertunjukan sandiwara berbahasa jawa oleh Kelompok Sedut Senut sebagai penutup festival.