Mimbartimur.com –  Perang . dengan hasil rempah-rempahnya diibaratkan bagaikan ‘mutiara dari timur’. Ibarat itu senantiasa diburu oleh orang-orang Eropa. Namun tidak hanya memburu kekayaan, orang-orang Eropa juga ingin berkuasa dan melakukan monopoli perdagangan.

Kekuasaan orang-orang Eropa itu telah merusak tata ekonomi dan perdagangan bebas yang telah lama berkembang di Nusantara. Pada masa pemerintahan Inggris bersedia membayar hasil bumi rakyat Maluku. Kegiatan kerja rodi mulai dikurangi, bahkan para pemuda Maluku juga diberi kesempatan untuk bekerja pada dinas angkatan perang Inggris.

Tetapi pada masa pemerintahan kolonial , keadaan kembali berubah. Kegiatan monopoli di Maluku kembali diperketat. Dengan demikian, beban rakyat semakin berat, sebab selain penyerahan wajib, masih juga harus dikenai kewajiban kerja paksa, penyerahan ikan asin, dendeng, dan kopi.

Jika ada penduduk yang melanggar akan ditindak tegas. Ditambah lagi terdengar desas desus bahwa para guru akan diberhentikan untuk penghematan, sementara itu para pemuda akan diikumpulkan untuk dijadikan tentara di luar Maluku.

Desas desus ini membuat situasi semakin panas, ditambah lagi dengan sikap arogan dan sikap sewenang-wenang dari Saparua. Suatu ketika Belanda memesan perahu orambai kepada nelayan. Setelah perahu di serahkan, Belanda tidak mu membayar dengan harga yang pantas.

Mereka menutut agar pemerintah bersedia membayar perahu orambai yang dipesan oleh pemerintah Belanda dengan harga yang pantas. Bahkan perahu orambai yang diserahkan tidak pernah dibayar, padahal orang-orang Maluku sudah berperan menyediakan ikan asin untuk kapal-kapal Belanda di Maluku.

Belanda sama sekali menghargai jasa orang-orang Maluku. Oleh karena itu, para pembuat perahu mengancam akan mogok jika tidak dibayar. Residen Saparua Van den Berg menolak tuntutan rakyat itu. Kejadia itu menyebabkan kebencian rakyat Maluku semakin menjadi-jadi.

-- --

Menanggapi kondisi demikian, para tokoh dan pemuda melakukan serangkaian pertemuan rahasia. Sebagai contoh telah diadakan pertemuan di Pulau Haruku, pulau yang dihuni orang-orang Islam. Selanjutnya pada tanggal 14 Mei 1817 di Pulau Saparua (pulau yang dihuni orang-orang Kristen) kembali diadakan pertemuan di sebuah tempat yang sering disebut dengan Hutan Kayu Putih.

Dalam berbagai pertemuan itu disimpulkan bahwa rakyat Maluku tidak ingin terus menderita di bawah keserakahan dan kekejaman Belanda. Oleh karena it, mereka perlu mengadakan perlawanan untuk menentang kebijakan Belanda.

Redaksi MimbarTimur
Editor