“Pemilu jadi kesempatan untuk memperkuat pemusatan kekuasaan,” ujarnya.

juga meyoroti kemerosotan indeks demokrasi Indonesia. Salah satunya, berkaitan dengan kebebasan sipil. Mulai dari kebebasan berpendapat, hingga beragama dan berkeyakinan.

Bivitri menjelaskan semua kebebasan tersebut merupakan hak setiap orang. Dengan status repblik, negara wajib memberikan hak tersebut untuk seluruh warganya.

“Hak itu harus dipenuhi, dihormati dan dilindungi. Haknya, hak semua orang. Yang bertugas memenuhi, menghormati dan melindungi adalah negara,” ucap dia.

Sementara itu, peneliti di Institute of Social Studies Muhammad Okky Ibrohim menggarisbawahi hubungan AI dan tugas jurnalis dalam meliput isu ujaran kebencian (hate speech).

Berdasarkan hasil penelitiannya, dia mengelompokan ujaran kebencian bisa menyangkut agama, kepercayaan, ras, suku dan etnis. Selain itu, ujaran kebenciian juga bisa menyangkut ejekan fisik, gender dan orientasi seksual.

Adapun tingkatannya dibagi menjadi tiga level. Pertama, level ringan. Biasanya berupa makian yang berfokus pada individu. Kedua, level sedang. Biasanya ujaran kebencian pada level ini sudah mengarah ke konflik hingga pertengkaran di media sosial. Ketiga, level berat, yaitu sudah terdapat provokasi.

-- --

Okky mengatakan jurnalis bisa memanfaatkan untuk mengecek atau memastikan kalimat yang ditulis apakah mengandung ujaran kebencian atau tidak. Ini penting, mengingat peran jurnalis sangat penting menyangkut itu tersebut.

Pasalnya, kata Okky, dampak ujaran kebencian tak main-main. “Ujaran kebencian bisa jadi diskriminasi, bisa meningkat konflik sosial. Kemudian, bisa menyebabkan kerugian materiil dan mengancam nyawa. Level parahnya adalah genosida,” jelas dia.

Suk Kri
Publikasi