Biaya itu bukan hanya untuk membeli bambu. Sebagian besar justru habis untuk tali-tali pengikat bambu, styrofom, semen, tali untuk kayu buah sebagai pemberat, hingga tali sepanjang ratusan bahkan ribuan meter yang berfungsi sebagai jangkar agar tidak hanyut. Setiap simpul yang diikat adalah bentuk keuletan: ‘satu simpul untuk harapan hari ini, satu simpul lagi untuk keyakinan akan rezeki esok’.

Namun rupanya, tidak hanya menghidupi pemiliknya. Ia membuka ruang bagi banyak orang lain untuk ikut menebar asa. Warga setempat biasanya memancing di sekitar tanpa perlu meminta izin, sebab sudah menjadi kesepakatan tak tertulis bahwa hasil laut adalah rezeki bersama. Dalam sunyi laut, saling berbagi ruang, saling menjaga, dan saling menghormati.

Dan begitulah setiap hari. Di sekitar yang mengapung sendirian di laut, kehidupan terus berdenyut. Anak-anak nelayan menunggu ayah mereka pulang dengan ember kecil berisi ikan. Ibu-ibu membersihkan hasil tangkap sambil saling berkabar tentang keadaan kampung. Para nelayan kembali ke rumah dengan wajah lelah, namun hati tenang karena mereka tahu, laut dan masih menyediakan ruang untuk bertahan hidup.

bukan sekadar alat tangkap. Ia adalah bukti bahwa tradisi, kerja keras, dan kebersamaan dapat bertahan meski zaman terus berubah. Di , tumbuh menjadi simbol keteguhan hati masyarakat pesisir, keteguhan untuk hidup dari laut, menjaga laut, dan mencintai laut.

Karena bagi mereka, laut bukan hanya tempat mencari makan. Laut adalah bagian dari diri mereka dan , hanyalah salah satu cara mereka merawat hubungan itu. ***