Konsep disparitas, katanya, kerap digunakan di daerah untuk menganalisa ketimpangan penduduk. Mukhtar mengilustrasikan jika jumlah penduduk Pulau Taliabu dan Halmahera Tengan sama sebanyak 61 ribu jiwa, namun kapasitas fisikal berbeda maka kalkulasi Rp 100 miliar tidak tepat sasaran.
“Pulau Taliabu fisikalnya hanya 900 miliar sekian per APBD 2024, sementara Halmahera Tengah sebesar Rp 1,6 triliun. Coba berpikir, perlukah Halmahera Tengah juga mendapatkan pembagian Rp 100 miliar, tidak perlu”, pungkasnya.
“Karena dengan kapasitas fisikalnya sudah bisa membuat spending ekonominya, bisa mengatasi layanan publik. Tapi Taliabu dengan kapasitas fisikal yang rendah perlu disupport karena terjadi angka yang berbeda jadi itu rasionalnya”, imbuh Mukhtar.
Jika pembagian berdasarkan program, Mukhtar mencontohkan pembangunan Sekolah Menengah Atas (SMA) di Pulau Taliabu dan Halmahera Selatan. Dengan perbedaan jumlah penduduk akan berpengaruh terhadap pembagian anggaran seperti yang dijelaskan Sahril Thahir.
“Jumlah penduduk di Halmahera Selatan hampir 200 ribuan, Taliabu hanya 61 ribu pastinya jumlah siswa lebih rendah. Pastinya anggaran yang diberikan tidak sama, itu kalau masuk ke program dengan contoh sekolah SMA yang menjadi kewenangan provinsi”, tuturnya.
Mukhtar mengingatkan Aliong Mus dan Sahril Thahir agar tidak membuat janji yang tidak rasional kepada publik. Apalagi menggunakan skema pembagian APBD setiap tahun senilai Rp 100 miliar per kabupaten kota secara merata.
“Bisa cek diseluruh Indonesia, kalau ada provinsi membuat pola alokasi yang sama, saya mundur sebagai dosen. Tapi kalau tidak ada, Sahril harus mundur sebagai calon wakil gubernur, atau tanya Aliong Mus kalau di Taliabu pembagian anggaran perkecamatan sama, saya mundur jika tidak dia yang harus mundur”, tandasnya.
***
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.