Puncak ketegangan terjadi ketika para seniman yang telah lama memendam kekesalan akhirnya memutuskan untuk melakukan unjuk rasa di Kantor Kalurahan Keneiki sebagai bentuk teguran keras terhadap perilaku diskriminatif Widodo Atlas.

Adegan ini menjadi gambaran bahwa praktik korupsi, meskipun hanya dalam skala kecil dan di tingkat komunitas, dapat merusak kepercayaan, menimbulkan perpecahan, dan menciptakan kecemburuan sosial dalam hubungan antarwarga.

Melalui pementasan ini, Kelompok Sedhut Senut berharap masyarakat dapat melihat bahwa korupsi tidak selalu muncul di gedung tinggi dan ruang rapat pejabat, tetapi juga bisa tumbuh subur di ruang-ruang yang tidak terduga: sanggar, balai desa, komunitas, bahkan percakapan sehari-hari.

Seni menjadi medium yang efektif untuk menyampaikan kritik sosial tanpa harus menggurui. Lewat humor, lelagon, dan dialog satir, pesan pemberantasan korupsi dapat diterima dengan lebih ringan namun tetap mengena. Seni juga sebagai sarana strategis untuk memperluas angin perubahan.

Melalui kehadiran kelompok seni seperti Sedhut Senut, kampanye dapat menjangkau publik yang lebih luas, lintas usia, lintas budaya, dan lintas latar belakang sosial.

Pementasan ini bukan sekadar pertunjukan, tetapi pesan moral bahwa setiap orang dapat mengambil bagian dalam gerakan dimulai dari lingkup yang paling kecil: keluarga, RT/RW, komunitas, hingga dunia kerja.

 

-- --