Pertunjukan tersebut akan dikemas dalam Gegojegan Sandiwara Lelagon, yaitu perpaduan drama, dialog satir, dan tembang Jawa yang penuh nuansa lokal. Pentas akan digelar di Trotoar samping pintu Plaza SO 1 Maret, sehingga dapat dinikmati oleh khalayak luas, wisatawan, maupun warga Yogyakarta yang melintas pada kegiatan itu.
“AsuOR” bukan sekadar judul yang unik. Lakon ini secara lugas mengangkat potret kehidupan para pelaku seni di tingkat lokal, khususnya dalam konteks perebutan akses pendanaan budaya.
Setting cerita diambil dari sebuah wilayah fiktif bernama Kalurahan Keneiki, yang di dalamnya menggambarkan dinamika seni budaya yang kompleks.
Di wilayah tersebut, para seniman tradisi dan kontemporer bersaing ketat untuk mendapatkan fasilitasi dana kebudayaan. Alih-alih bersaing melalui karya, kompetisi itu makin lama berubah menjadi ajang saling sikut, penuh kecurigaan, bahkan praktik curang.
Lakon ini menyoroti seorang oknum seniman yang memiliki kedekatan dengan pejabat Satgas Budaya, sehingga dapat mempengaruhi keputusan pemberian dana.
Kedekatan ini membuat alokasi anggaran menjadi tidak sehat, tidak transparan, dan menimbulkan kecemburuan di antara para seniman lain yang merasa dipinggirkan.
Cerita itu mencerminkan realita bahwa korupsi bisa bersembunyi di balik hal-hal yang tampak remeh, di balik sebuah proposal seni, di balik acara kebudayaan, bahkan di balik pertemanan dan kedekatan emosional personal.
Ekosistem kebudayaan yang seharusnya menjadi ruang kreatif, berubah menjadi ladang intrik. Idelisme berkesenian yang biasanya bertumpu pada nilai estetika dan pengabdian budaya, perlahan runtuh dan tergantikan oleh orientasi yang lebih pragmatis, idealisme = uang.
Lakon “AsuOR” diperkuat dengan karakter-karakter yang menggambarkan beragam sisi dari sebuah ekosistem seni yang sakit.
