Sahnawi menyebut anggaran tersebut merupakan dana honorium rohaniawan senilai Rp 4,8 miliar diperuntukan untuk instentif pemuka agama di 40 kelurahan yang ada di Kota Tidore. Pemuka agama tersebut terdiri dari Imam Mesjid, Sara, Pendeta, Pelayan Jemaat dan Guru Ngaji.

“Temuan di BPK Maluku Utara hanya soal penamaan yang diinput ke apalikasi SIPD, menurut BPK tidak boleh pakai nama rohaniawan, harus diganti dengan nama ‘diserahkan ke masyarakat’. Persoalan ini sudah kami lakukan sanggahan dan tidak ada lagi masalah”, tukas Sahnawi.

Terpisah, Praktisi Hukum Maluku Utara Zulfikran Bailussy menyatakan bahwa pemanggilan Sekretaris Daerah Kota Tidore perlu dilakukan untuk memastikan bahwa temuan-temuan yang telah dilaporkan secara resmi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) memiliki kepastian hukum.

“Setelah laporan disampaikan, sebaiknya Kejaksaan Tinggi Maluku Utara memanggil pihak terkait untuk meminta keterangan, agar tidak timbul asumsi-asumsi negatif terhadap penegakan hukum,” ungkap Zulfikran kepada mimbartimurcom, Rabu (10/09).

Menurutnya, klarifikasi sejumlah pimpinan OPD terkait laporan LSM LPP Tipikor tidak menjadi dasar yang untuk menggugurkan laporan yang telah diterima Kejati Maluku Utara. Zulfikran meminta Sekda Kota Tidore agar lebih proaktif tanpa melibatkan pihak lain.

“Laporan itu sesuai temuan BPK sehingga harus diklarifikasi agar ada kepastian. Apalagi laporan itu disampaikan oleh LSM yang merupakan representase masyarakat. Jika tiba-tiba ada pimpinan OPD membuat klarifikasi, tentu itu salah alamat”, pungkasnya.

***