Igrissa juga menyoroti peran lembaga keuangan nasional dan internasional yang terus mendanai ekspansi Harita Group. Ia menilai bank-bank tersebut berpotensi ikut bertanggung jawab secara etik, bahkan hukum, apabila tetap membiayai proyek yang diduga melanggar hukum dan HAM.
“Pendanaan bukan tindakan netral. Jika bank mengetahui atau seharusnya mengetahui adanya pelanggaran, maka pembiayaan itu dapat dianggap sebagai kontribusi terhadap kejahatan,” katanya.
Tekanan terhadap sektor keuangan, lanjut Igrissa, kini berskala global. Kampanye internasional #StopDirtyNickel yang digerakkan Kpop4Planet secara terbuka menargetkan sejumlah bank besar, seperti Hana Bank, Maybank, MUFG, dan BNI, yang disebut terlibat dalam pembiayaan industri nikel bermasalah.
Ia menambahkan, laporan Market Forces dan The Prakarsa mengungkap aliran pembiayaan Harita Group ke proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara industri yang menyuplai smelter nikel. Temuan tersebut dinilai menunjukkan kontradiksi antara klaim transisi energi hijau dan praktik di lapangan.
“Fakta ini menempatkan industri nikel Indonesia sebagai salah satu penyumbang emisi karbon industri tertinggi, jauh dari narasi energi bersih yang dikampanyekan,” ujarnya.
Dari sisi lingkungan, Igrissa menyebut temuan Global Witness, The Gecko Project, serta sejumlah media internasional menggambarkan situasi yang mengkhawatirkan. Operasi tambang di Pulau Obi dituding menyebabkan pencemaran berat air laut dan air tanah oleh logam berbahaya, termasuk Kromium Heksavalen yang bersifat karsinogenik.
“Investigasi The Guardian yang melibatkan aktivis lingkungan Erin Brockovich mengungkap risiko kesehatan jangka panjang bagi masyarakat sekitar. Bahkan, laporan internal perusahaan yang bocor mengakui adanya kontaminasi jangka panjang di area tambang dan tailing,” katanya.
Di tengah tekanan tersebut, Harita Nickel diketahui mengikuti audit Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA) dan menerbitkan laporan keberlanjutan. Namun, menurut para pengkritik, langkah itu dinilai lebih sebagai upaya pencucian citra atau greenwashing dan whitewashing.
“Klaim kepatuhan terhadap standar internasional tidak sebanding dengan temuan pelanggaran berat dan sistematis di lapangan,” ujar Igrissa.
