Mimbartimur.com“Entah ini kabar baik atau buruk, sebuah kelompok sandiwara berbahasa Jawa bisa dipanggil KPK. Ada apa ini semua masih dalam tahap telisik lebih lanjut dan investigasi bersama. Mulanya karena ketidak tahuan saja tiba-tiba mendapat telepon dari oknum yang tidak mau menyebutkan namanya yang berkaitan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Bahwasanya kelompok sandiwara bahasa Jawa ini menjadi salah satu kelompok seni di Yogyakarta yang dipanggil KPK”.

Informasi yang samar itu sempat membuat para anggota kelompok seni ini terperanjat. Dalam imajinasi sebagian besar masyarakat, panggilan dari KPK biasanya berkaitan dengan perkara hukum, pemeriksaan, atau pengusutan dugaan korupsi. Tidak heran jika telepon tersebut membuat seisi ruangan mendadak penuh tanda tanya.

Setelah dilakukan penelusuran dan klarifikasi lebih lanjut, skenario dramatis yang sempat dibayangkan perlahan luruh. Bukan panggilan pemeriksaan, bukan pula surat pemanggilan hukum. Ternyata, KPK mengundang Kelompok Sedhut Senut untuk tampil dalam peringatan Hari Sedunia () tahun 2025, bertajuk “Arak-Arakan Ganyang Wabah Korupsi”, sebuah acara Nasional yang setiap tahun digelar sebagai bentuk kampanye publik Pemberantasan Korupsi. Acara tersebut akan digelar pada Hari Sabtu, 6 Desember 2025, pukul 15.00 WIB, rute utama yakni sepanjang Jalan Malioboro hingga Titik 0 Kilometer, Kota Yogyakarta.

Kelompok Sedhut Senut diminta tidak hanya hadir, tetapi aktif terlibat dalam rombongan Karnaval Arak-Arakan Ganyang Wabah Korupsi. Karnaval akan dimulai dari halaman Gedung DPRD Provinsi DIY, kemudian bergerak ke selatan menyusuri Jalan Malioboro, dan berakhir di pusat keramaian Kota Yogyakarta, yakni area Titik 0 Kilometer. Setiba di titik akhir, barulah kelompok seni ini akan menampilkan sebuah pertunjukan khusus: Sandiwara Berbahasa Jawa dengan judul “AsuOR”, sebuah lakon yang sarat kritik sosial.

Pertunjukan tersebut akan dikemas dalam Gegojegan Sandiwara Lelagon, yaitu perpaduan drama, dialog satir, dan tembang Jawa yang penuh nuansa lokal. Pentas akan digelar di Trotoar samping pintu Plaza SO 1 Maret, sehingga dapat dinikmati oleh khalayak luas, wisatawan, maupun warga Yogyakarta yang melintas pada kegiatan itu.

AsuOR” bukan sekadar judul yang unik. Lakon ini secara lugas mengangkat potret kehidupan para pelaku seni di tingkat lokal, khususnya dalam konteks perebutan akses pendanaan budaya. Setting cerita diambil dari sebuah wilayah fiktif bernama Kalurahan Keneiki, yang di dalamnya menggambarkan dinamika seni budaya yang kompleks.

Di wilayah tersebut, para seniman tradisi dan kontemporer bersaing ketat untuk mendapatkan fasilitasi dana kebudayaan. Alih-alih bersaing melalui karya, kompetisi itu makin lama berubah menjadi ajang saling sikut, penuh kecurigaan, bahkan praktik curang.

Lakon ini menyoroti seorang oknum seniman yang memiliki kedekatan dengan pejabat Satgas Budaya, sehingga dapat mempengaruhi keputusan pemberian dana. Kedekatan ini membuat alokasi anggaran menjadi tidak sehat, tidak transparan, dan menimbulkan kecemburuan di antara para seniman lain yang merasa dipinggirkan. Cerita itu mencerminkan realita bahwa korupsi bisa bersembunyi di balik hal-hal yang tampak remeh, di balik sebuah proposal seni, di balik acara kebudayaan, bahkan di balik pertemanan dan kedekatan emosional personal.

Ekosistem kebudayaan yang seharusnya menjadi ruang kreatif, berubah menjadi ladang intrik. Idelisme berkesenian yang biasanya bertumpu pada nilai estetika dan pengabdian budaya, perlahan runtuh dan tergantikan oleh orientasi yang lebih pragmatis, idealisme = uang.

Lakon “AsuOR” diperkuat dengan karakter-karakter yang menggambarkan beragam sisi dari sebuah ekosistem seni yang sakit. Puncak ketegangan terjadi ketika para seniman yang telah lama memendam kekesalan akhirnya memutuskan untuk melakukan unjuk rasa di Kantor Kalurahan Keneiki sebagai bentuk teguran keras terhadap perilaku diskriminatif Widodo Atlas.

Adegan ini menjadi gambaran bahwa praktik korupsi, meskipun hanya dalam skala kecil dan di tingkat komunitas, dapat merusak kepercayaan, menimbulkan perpecahan, dan menciptakan kecemburuan sosial dalam hubungan antarwarga.

Melalui pementasan ini, Kelompok Sedhut Senut berharap masyarakat dapat melihat bahwa korupsi tidak selalu muncul di gedung tinggi dan ruang rapat pejabat, tetapi juga bisa tumbuh subur di ruang-ruang yang tidak terduga: sanggar, balai desa, komunitas, bahkan percakapan sehari-hari.

Seni menjadi medium yang efektif untuk menyampaikan kritik sosial tanpa harus menggurui. Lewat humor, lelagon, dan dialog satir, pesan pemberantasan korupsi dapat diterima dengan lebih ringan namun tetap mengena. Seni juga sebagai sarana strategis untuk memperluas angin perubahan. Melalui kehadiran kelompok seni seperti Sedhut Senut, kampanye dapat menjangkau publik yang lebih luas, lintas usia, lintas budaya, dan lintas latar belakang sosial.

Pementasan ini bukan sekadar pertunjukan, tetapi pesan moral bahwa setiap orang dapat mengambil bagian dalam gerakan dimulai dari lingkup yang paling kecil: keluarga, RT/RW, komunitas, hingga dunia kerja.