





Di pesisir Desa Laromabati, laut bukan sekadar hamparan biru yang membentang di depan mata. Ia adalah halaman rumah, ruang kerja, sahabat, dan sering kali juga guru yang mengajarkan kesabaran. Setiap pagi, saat ombak pertama menyentuh pasir dan burung sueko melintas rendah, para nelayan sudah bergerak. Di antara mereka ada satu tradisi yang tak pernah lekang: rumpon, sebuah warisan sederhana yang menjadi penopang hidup banyak keluarga.
Bagi masyarakat Laromabati, rumpong adalah cara paling akrab untuk mendekati rezeki laut. Dari alat inilah mereka mendapatkan ikan-ikan muda kacakalang, yang kemudian dijual seharga Rp 20 ribuan untuk 5–7 ekor. Ukurannya memang hanya seukuran telapak tangan, tetapi bagi para nelayan, ikan-ikan kecil itulah yang mampu menyalakan dapur, membayar kebutuhan anak sekolah, hingga membantu mereka bertahan di bulan-bulan sulit saat gelombang tinggi membuat laut tak bersahabat.
Ikan itu ditangkap dengan cara yang unik. Nelayan menggunakan umpan dari benang tipis, hampir tak terlihat, yang diikat pada mata kail kecil. Seakan tahu naluri ikan laut muda, benang halus itu bergerak lembut mengikuti arus, menarik perhatian kacakalang yang penasaran. Begitulah sejak dulu: tak ada teknologi canggih, tak ada mesin rumit. Hanya keterampilan, insting, dan kesabaran manusia yang menyatu dengan laut.
Namun, dibalik rezeki yang datang dari permukaan air, ada kisah panjang yang jarang terlihat. Kisah tentang rumpong, yang tidak hanya berdiri sebagai alat tangkap, tetapi juga sebagai simbol kerja keras.
Rumpong terbuat dari bambu yang disusun berlapis hingga empat kali. Lebarnya kira-kira 12 ruas bambu, dengan jarak selebar telapak tangan di tiap sela agar arus dapat mengalir bebas, tetapi tetap menarik ikan untuk berkumpul. Dari jauh, bentuknya mungkin tampak sederhana. Namun dari dekat, setiap bambu, tiap ikatan, dan setiap lapisan menunjukkan ketelitian, pengalaman, dan perjuangan.
Setelah selesai dirakit, rumpong dihanyutkan perlahan menuju laut lepas, sekitar dua kilometer dari bibir pantai. Di sanalah ia dibiarkan hanyut sendiri, menghadapi ombak, dihantam arus, dan tetap bertahan sebagai rumah sementara bagi ikan-ikan kecil. Kadang rumpon bertahan berbulan-bulan, kadang hanya beberapa minggu sebelum hanyut atau rusak. Namun apa pun yang terjadi, nelayan tidak pernah berhenti membuat yang baru.
Salah satu pembuat rumpong yang paling dikenal adalah Muamar Djafar. Pria muda yang tangguh dan berani mengambil resiko bergelut di laut. Tangannya kasar, matanya teduh, dan tubuhnya terbiasa dengan terik matahari serta angin asin. Baginya, membuat rumpong bukan sekadar pekerjaan, tetapi itu adalah bagian dari hidupnya.
“Membuat rumpong itu bukan cuma soal bambu dan tali. Ada tenaga, ada waktu, ada pikiran, dan ada harapan di dalamnya,” ujarnya suatu sore ketika matahari mulai turun. Di tangannya, bambu-bambu itu terasa seperti amanah. Muamar tahu, rumpong yang ia buat akan menjadi penopang ekonomi tak hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi banyak nelayan lain di kampung.
Biaya membuat satu rumpong cukup besar berkisar Rp 6 hingga 7 juta untuk ukuran 2,5 hingga 3 meter, dengan lebar sekitar satu meter. Nilai itu sangat berarti bagi keluarga nelayan. Tetapi itulah pilihan yang harus diambil. Sebab rumpong, bagaimanapun, memberikan hasil yang terus kembali.
