Usulan pembentukan () untuk telah menjadi topik perdebatan yang hangat di kalangan intelek saat ini. Keinginan untuk memisahkan diri dari Halmahera Selatan mencerminkan aspirasi lokal untuk meningkatkan pelayanan publik dan pengelolaan sumber daya. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa kondisi sosial ekonomi di kedua pulau ini belum memadai untuk mendukung pembentukan DOB. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik () tahun 2022, Pulau Makian dan Kayoa memiliki tingkat kemiskinan yang cukup tinggi, dengan persentase mencapai 35% dari total populasi. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan dasar masyarakat masih belum terpenuhi, dan angan-angan untuk menjadi daerah otonom baru harus ditanggapi dengan hati-hati.

Salah satu argumen utama yang diajukan oleh pendukung DOB adalah potensi sumber daya alam () yang ada di Pulau Makian dan Kayoa. Namun, berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) tahun 2023 menunjukkan bahwa eksploitasi SDA di kedua pulau ini masih sangat terbatas. Misalnya, meskipun terdapat potensi , produksi perikanan saat ini masih berada di bawah standar, dengan angka produksi hanya mencapai 200 ton per tahun, jauh dari kebutuhan konsumsi lokal yang mencapai 500 ton. Dengan demikian, klaim bahwa SDA di kedua pulau mampu menopang pembentukan DOB perlu ditinjau ulang.

Dari segi infrastruktur, Pulau Makian dan Kayoa juga menghadapi tantangan yang signifikan. Aksesibilitas transportasi yang buruk dan minimnya fasilitas publik seperti sekolah dan fasilitas pelayanan kesehatan semakin memperkuat argumen bahwa kedua pulau ini belum siap untuk berpisah dari Halmahera Selatan. Menurut laporan Kementerian Perhubungan tahun 2023, hanya ada satu jalur transportasi laut yang menghubungkan kedua pulau tersebut dengan pusat pemerintahan di Halmahera Selatan, yang menyebabkan keterbatasan dalam distribusi barang dan pelayanan publik. Tanpa adanya infrastruktur yang memadai, pembentukan DOB berpotensi hanya akan menambah beban bagi masyarakat.

Dalam skema DOB, penting untuk mempertimbangkan dampak sosial dari pembentukan otonom baru. Sejarah menunjukkan bahwa pemisahan wilayah seringkali membawa perpecahan dalam masyarakat, terutama jika tidak didukung oleh konsensus yang kuat di antara warga. Mengacu pada kasus seperti pemekaran daerah di Papua, menunjukkan bahwa tanpa kajian yang matang, DOB dapat menciptakan ketegangan sosial dan konflik antarkelompok (Mardiyanto, 2021). Oleh karena itu, sebelum melangkah lebih jauh, perlu ada dialog yang konstruktif antara masyarakat, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan lainnya.

Meskipun keinginan untuk membentuk DOB Pulau Makian dan Kayoa mencerminkan aspirasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup, realitas di lapangan menunjukkan bahwa kondisi ekonomi, sosial, dan infrastruktur saat ini belum mendukung. Sehingga, usulan ini perlu ditanggapi dengan kajian yang lebih matang dan melibatkan partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat.

Dalam konteks Sumber daya alam (SDA), merupakan salah satu faktor kunci dalam menentukan kelayakan pembentukan daerah otonom baru. Menilik potensi SDA di Pulau Makian dan Kayoa, realitas menunjukkan bahwa pengelolaannya masih jauh dari optimal. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Universitas Khairun Ternate tahun 2022, potensi perikanan di Pulau Makian diperkirakan mencapai 1.000 ton per tahun, namun saat ini hanya sekitar 20% dari potensi tersebut yang dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara potensi dan realisasi, yang menjadi tantangan besar dalam mendukung pembentukan DOB.

Di sisi lain, pertanian di kedua pulau ini juga tidak menunjukkan perkembangan yang signifikan. Sebagian besar lahan di Pulau Makian dan Kayoa lebih cocok untuk daripada pertanian pangan. Data dari Dinas Pertanian Halmahera Selatan menunjukkan bahwa luas lahan pertanian di kedua pulau ini hanya mencapai 500 hektar, dengan produksi padi yang sangat minim, yaitu kurang dari 100 ton per tahun. Ketergantungan pada produk perkebunan seperti cengkeh dan pala tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, yang pada gilirannya dapat memperburuk kondisi sosial ekonomi mereka.

Selain itu, pengelolaan sumber daya alam yang kurang efisien juga menjadi faktor penghambat. Banyak nelayan di Pulau Makian dan Kayoa yang masih menggunakan metode tradisional dalam menangkap ikan, yang tidak hanya mengakibatkan rendahnya produktivitas, tetapi juga berpotensi merusak ekosistem laut (Sukandar, 2022). Dengan demikian, tanpa adanya investasi dalam teknologi dan pelatihan, potensi SDA yang ada tidak akan mampu menopang pembentukan DOB yang diharapkan.

Kondisi ini diperparah dengan minimnya dukungan dari pemerintah pusat dalam hal pengembangan infrastruktur dan teknologi. Program-program pengembangan yang ada saat ini belum menjangkau Pulau Makian dan Kayoa secara maksimal. Dalam laporan yang diterbitkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, hanya 15% dari total anggaran yang dialokasikan untuk pengembangan di Maluku Utara yang sampai ke kedua pulau ini. Tanpa adanya perhatian yang lebih besar dari pemerintah, potensi SDA di Pulau Makian dan Kayoa akan terus terabaikan.