Mimbartimur.com – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Ansor Ternate ikut menyoroti pernyataan Kapolda Maluku Utara Irjen Pol. Waris Agono terkait penanganan perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang melibatkan anak buahnya Brigpol Ronal Zulfikry Effendi bakal diproses secara profesional dan tanpa pandang bulu.

Menurut Ketua LBH Ansor Ternate, Zulfikran Bailussy pernyataan tersebut berbanding terbalik dengan prinsip equality before the law. Pasalnya, korban KDRT Wulandari Anastasia Said yang mestinya mendapatkan perlindungan hukum justru mengalami reviktiminasi hingga ancaman kriminalisasi di lapangan.

“Kami membaca pernyataan Kapolda yang menekankan asas persamaan di hadapan hukum, namun bagaimana bisa korban kekerasan yang sudah lebih awal melapor, justru dijadikan tersangkan bahkan terancam ditahan. Ini berbahaya, karena bisa menjadi preseden buruk bagi korban KDRT lainnya yang hendak mencari keadilan”, ujar Zukfikran kepada mimbartimurcom, Senin (07/07) pagi.

Zulfikran menjelaskan dalam Pasal 51 Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) perlu mendapatkan perlindungan dari negara, termasuk dari potensi kriminalisasi. Ia menekankan penyidikan terhadap Wulandari patut ditinjau kembali dari perspektif perlindungan terhadap korban kekerasan berbasis gender.

“Fakta menunjukan korban telah menjalani visum dengan hasil mengalami trauma berat, namun masih saja diproses sebagai tersangka. Tentu ini bentuk pelanggaran terhadap prinsip due process of law yang menjamin keadilan substantif, bukan sekedar keadilan prosedural. Kalau mau profesional penyidikan ini harus ditinjau kembali agar tidak sekedar omon-omon”, tandasnya.

Lebih lanjut, Zulfikran menegaskan pihaknya bersolidaritas dengan LBH Marimoi dalam mengawal perkara korban KDRT yang tengah berjalan tanpa memperhatikan asas-asas keadilan saat ini. Zulfikran meminta Kapolda Maluku Utara tidak hanya menjawab pertanyaan publik dengan narasi normatif, namun perlu melakukan evaluasi terhadap penyidik yang menangani laporan tandingan Brigpol Ronal.

“Dalam banyak kasus KDRT, pelaku kerap menggunakan laporan balik sebagai alat intimidasi untuk membungkam korban. Ini bukan hal baru. Maka, mestinya Polda Malut tidak sekadar memproses laporan secara formil, tetapi menilai konteks kekerasan secara utuh, termasuk ketimpangan kuasa antara anggota Polri dan istrinya yang notabene adalah Bhayangkari”, imbuhnya.

LBH Ansor Ternate juga mengingatkan bahwa proses hukum yang tidak sensitif gender dan trauma bisa menjadi alat represi baru terhadap perempuan korban kekerasan. Zulfikran mendesak perlindungan hukum penuh terhadap Wulandari dan mendukung permintaan penangguhan penahanan terhadapnya.

“Kami akan terus mengawal kasus ini bersama LBH Marimoi. Dan kami menyerukan kepada seluruh masyarakat sipil, organisasi perempuan, dan jaringan pembela hak asasi manusia untuk tidak tinggal diam ketika korban KDRT diancam penjara oleh sistem hukum yang seharusnya melindunginya”, tutupnya.